Selasa, 13 April 2010

Minggu, 11 April 2010


Derektur Eksekutif Lembaga Pendamping Penyuluh Petani dan Nelayan Moh.Hasan ( Jaket Hitam ) Menyerahkan piagam penghargaan ke pada Derektur LP3N Mohammad Saleh ( Baju Coklat )kabupaten sumenep atas prestasinya sebagai pemerhati dunia pertanian dalam memperjuangkan kesejahteraan petani yang ber ke adilan dan bermartabat, saat acara penyerahan di hadiri oleh Relawan PPL ( Petugas Penyuluh Lapangan ) yang di bentuk oleh LP3N di pelosok wilayah kabupaten Sumenep.dalam sambutan singkatnya Derektur Eksekutif LP3N Moh,Hasan mengharapkan nantinya kedepan harus ada leader-leader pemerhati pertanian maupun tokoh petani yang peduli terhadap nasib para petani untuk berkesempatan mendapatkan piagam penghargaan yang sama,lebih lanjut Moh. Hasan menyatakan bahwa maksut dan tuajuan penyerahan pigam ini kepada pelopor dunia pertanian adalah untuk menggugah para pelaku utama petani maupun pelaku utama agrobisnis untuk lebih pada cerdasisasi petani,sejatinya piagam penghargaan ini yang di berikan kepada tokoh masyarakat,maupun pada tokoh birokrat yang peduli kepada petani adalh piagam penghargaan yang di berikan oleh petani yang penyerahannya di wakilkan ke pada lembaga kami,dalam arti kata piagam penghargaan ini adalah bagian dari refsentatif petani,karena para petani merasa terima kasih kepada pemerhati petani yang pedulih kepada dunia mereka,sekali lagi penghargaan ini adalah merupakan bentuk terimakasih dari masyarakat petani melalui lembabaga kami ,pada akhir sambutannya seraya di tutup dengan yel yel LP3N..........! .......OKE.......!,PETANI...... ! PRIHATIN........!,HERBAFARM......! LUAR BIASA.....!

Jumat, 09 April 2010


UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2006
TENTANG
SISTEM PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa penyuluhan sebagai bagian dari upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum
merupakan hak asasi warga negara Republik Indonesia;
b. bahwa pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan
yang berkelanjutan merupakan suatu keharusan untuk
memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan bahan baku
industri; memperluas lapangan kerja dan lapangan
berusaha; meningkatkan kesejahteraan rakyat khususnya
petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudi daya ikan,
pengolah ikan, dan masyarakat di dalam dan di sekitar
kawasan hutan; mengentaskan masyarakat dari kemiskinan
khususnya di perdesaan; meningkatkan pendapatan
nasional; serta menjaga kelestarian lingkungan;
c. bahwa untuk lebih meningkatkan peran sektor pertanian,
perikanan, dan kehutanan, diperlukan sumber daya
manusia yang berkualitas, andal, serta berkemampuan
manajerial, kewirausahaan, dan organisasi bisnis sehingga
pelaku pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan
mampu membangun usaha dari hulu sampai dengan hilir
yang berdaya saing tinggi dan mampu berperan serta dalam
melestarikan hutan dan lingkungan hidup sejalan dengan
prinsip pembangunan berkelanjutan;
d. bahwa untuk mewujudkan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, dan huruf c, pemerintah berkewajiban
menyelenggarakan penyuluhan di bidang pertanian,
perikanan, dan kehutanan;
e. bahwa . . .
- 2 -
e. bahwa pengaturan penyuluhan pertanian, perikanan, dan
kehutanan dewasa ini masih tersebar dalam berbagai
peraturan perundang-undangan sehingga belum dapat
memberikan dasar hukum yang kuat dan lengkap bagi
penyelenggaraan penyuluhan pertanian, perikanan, dan
kehutanan;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang
tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C, dan Pasal 33 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG UNDANG TENTANG SISTEM PENYULUHAN
PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Sistem penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan
yang selanjutnya disebut sistem penyuluhan adalah
seluruh rangkaian pengembangan kemampuan,
pengetahuan, keterampilan, serta sikap pelaku utama dan
pelaku usaha melalui penyuluhan.
2. Penyuluhan . . .
- 3 -
2. Penyuluhan pertanian, perikanan, kehutanan yang
selanjutnya disebut penyuluhan adalah proses
pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar
mereka mau dan mampu menolong dan
mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi
pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya,
sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi
usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta
meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi
lingkungan hidup.
3. Pertanian yang mencakup tanaman pangan, hortikultura,
perkebunan, dan peternakan yang selanjutnya disebut
pertanian adalah seluruh kegiatan yang meliputi usaha
hulu, usaha tani, agroindustri, pemasaran, dan jasa
penunjang pengelolaan sumber daya alam hayati dalam
agroekosistem yang sesuai dan berkelanjutan, dengan
bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan manajemen
untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan masyarakat.
4. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan
dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan
dan lingkungannya secara berkelanjutan, mulai dari
praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan
pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis
perikanan.
5. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau
sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan
perairan.
6. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut
paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang
diselenggarakan secara terpadu dan berkelanjutan.
7. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk
dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
8. Pelaku utama kegiatan pertanian, perikanan, dan
kehutanan yang selanjutnya disebut pelaku utama adalah
masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan, petani,
pekebun, peternak, nelayan, pembudi daya ikan, pengolah
ikan, beserta keluarga intinya.
9. Masyarakat . . .
- 4 -
9. Masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan adalah
penduduk yang bermukim di dalam dan di sekitar kawasan
hutan yang memiliki kesatuan komunitas sosial dengan
kesamaan mata pencaharian yang bergantung pada hutan
dan aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem
hutan.
10. Petani adalah perorangan warga negara Indonesia beserta
keluarganya atau korporasi yang mengelola usaha di
bidang pertanian, wanatani, minatani, agropasture,
penangkaran satwa dan tumbuhan, di dalam dan di sekitar
hutan, yang meliputi usaha hulu, usaha tani, agroindustri,
pemasaran, dan jasa penunjang.
11. Pekebun adalah perorangan warga negara Indonesia atau
korporasi yang melakukan usaha perkebunan.
12. Peternak adalah perorangan warga negara Indonesia atau
korporasi yang melakukan usaha peternakan.
13. Nelayan adalah perorangan warga negara Indonesia atau
korporasi yang mata pencahariannya atau kegiatan
usahanya melakukan penangkapan ikan.
14. Pembudi daya ikan adalah perorangan warga negara
Indonesia atau korporasi yang melakukan usaha
pembudidayaan ikan.
15. Pengolah ikan adalah perorangan warga negara Indonesia
atau korporasi yang melakukan usaha pengolahan ikan.
16. Pelaku usaha adalah perorangan warga negara Indonesia
atau korporasi yang dibentuk menurut hukum Indonesia
yang mengelola usaha pertanian, perikanan, dan
kehutanan.
17. Kelembagaan petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudi
daya ikan, pengolah ikan, dan masyarakat di dalam dan di
sekitar kawasan hutan adalah lembaga yang
ditumbuhkembangkan dari, oleh, dan untuk pelaku
utama.
18. Penyuluh pertanian, penyuluh perikanan, atau penyuluh
kehutanan, baik penyuluh PNS, swasta, maupun swadaya,
yang selanjutnya disebut penyuluh adalah perorangan
warga negara Indonesia yang melakukan kegiatan
penyuluhan.
19. Penyuluh . . .
- 5 -
19. Penyuluh pegawai negeri sipil yang selanjutnya disebut
penyuluh PNS adalah pegawai negeri sipil yang diberi
tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh
oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi
lingkup pertanian, perikanan, atau kehutanan untuk
melakukan kegiatan penyuluhan.
20. Penyuluh swasta adalah penyuluh yang berasal dari dunia
usaha dan/atau lembaga yang mempunyai kompetensi
dalam bidang penyuluhan.
21. Penyuluh swadaya adalah pelaku utama yang berhasil
dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yang
dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi
penyuluh.
22. Materi penyuluhan adalah bahan penyuluhan yang akan
disampaikan oleh para penyuluh kepada pelaku utama dan
pelaku usaha dalam berbagai bentuk yang meliputi
informasi, teknologi, rekayasa sosial, manajemen, ekonomi,
hukum, dan kelestarian lingkungan.
23. Programa penyuluhan pertanian, perikanan, dan
kehutanan yang selanjutnya disebut programa penyuluhan
adalah rencana tertulis yang disusun secara sistematis
untuk memberikan arah dan pedoman sebagai alat
pengendali pencapaian tujuan penyuluhan.
24. Rekomendasi adalah pemberian persetujuan terhadap
teknologi yang akan digunakan sebagai materi penyuluhan.
25. Kelembagaan penyuluhan adalah lembaga pemerintah
dan/atau masyarakat yang mempunyai tugas dan fungsi
menyelenggarakan penyuluhan.
26. Komisi Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan
yang selanjutnya disebut Komisi Penyuluhan adalah
kelembagaan independen yang dibentuk pada tingkat
pusat, provinsi, dan kabupaten/kota yang terdiri atas para
pakar dan/atau praktisi yang mempunyai keahlian dan
kepedulian dalam bidang penyuluhan atau pembangunan
perdesaan.
27. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang
pertanian, menteri yang bertanggung jawab di bidang
perikanan, atau menteri yang bertanggung jawab di bidang
kehutanan.
28. Pemerintah . . .
- 6 -
28. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
29. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota,
dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
30. Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN FUNGSI
Pasal 2
Penyuluhan diselenggarakan berasaskan demokrasi, manfaat,
kesetaraan, keterpaduan, keseimbangan, keterbukaan, kerja
sama, partisipatif, kemitraan, berkelanjutan, berkeadilan,
pemerataan, dan bertanggung gugat.
Pasal 3
Tujuan pengaturan sistem penyuluhan meliputi pengembangan
sumber daya manusia dan peningkatan modal sosial, yaitu:
a. memperkuat pengembangan pertanian, perikanan, serta
kehutanan yang maju dan modern dalam sistem
pembangunan yang berkelanjutan;
b. memberdayakan pelaku utama dan pelaku usaha dalam
peningkatan kemampuan melalui penciptaan iklim usaha
yang kondusif, penumbuhan motivasi, pengembangan
potensi, pemberian peluang, peningkatan kesadaran, dan
pendampingan serta fasilitasi;
c. memberikan . . .
- 7 -
c. memberikan kepastian hukum bagi terselenggaranya
penyuluhan yang produktif, efektif, efisien, terdesentralisasi,
partisipatif, terbuka, berswadaya, bermitra sejajar,
kesetaraan gender, berwawasan luas ke depan, berwawasan
lingkungan, dan bertanggung gugat yang dapat menjamin
terlaksananya pembangunan pertanian, perikanan, dan
kehutanan;
d. memberikan perlindungan, keadilan, dan kepastian hukum
bagi pelaku utama dan pelaku usaha untuk mendapatkan
pelayanan penyuluhan serta bagi penyuluh dalam
melaksanakan penyuluhan; dan
e. mengembangkan sumber daya manusia, yang maju dan
sejahtera, sebagai pelaku dan sasaran utama pembangunan
pertanian, perikanan, dan kehutanan.
Pasal 4
Fungsi sistem penyuluhan meliputi:
a. memfasilitasi proses pembelajaran pelaku utama dan pelaku
usaha;
b. mengupayakan kemudahan akses pelaku utama dan pelaku
usaha ke sumber informasi, teknologi, dan sumber daya
lainnya agar mereka dapat mengembangkan usahanya;
c. meningkatkan kemampuan kepemimpinan, manajerial, dan
kewirausahaan pelaku utama dan pelaku usaha;
d. membantu pelaku utama dan pelaku usaha dalam
menumbuhkembangkan organisasinya menjadi organisasi
ekonomi yang berdaya saing tinggi, produktif, menerapkan
tata kelola berusaha yang baik, dan berkelanjutan;
e. membantu menganalisis dan memecahkan masalah serta
merespon peluang dan tantangan yang dihadapi pelaku
utama dan pelaku usaha dalam mengelola usaha;
f. menumbuhkan kesadaran pelaku utama dan pelaku usaha
terhadap kelestarian fungsi lingkungan; dan
g. melembagakan . . .
- 8 -
g. melembagakan nilai-nilai budaya pembangunan pertanian,
perikanan, dan kehutanan yang maju dan modern bagi
pelaku utama secara berkelanjutan.
BAB III
SASARAN PENYULUHAN
Pasal 5
(1) Pihak yang paling berhak memperoleh manfaat penyuluhan
meliputi sasaran utama dan sasaran antara.
(2) Sasaran utama penyuluhan yaitu pelaku utama dan
pelaku usaha.
(3) Sasaran antara penyuluhan yaitu pemangku kepentingan
lainnya yang meliputi kelompok atau lembaga pemerhati
pertanian, perikanan, dan kehutanan serta generasi muda
dan tokoh masyarakat.
BAB IV
KEBIJAKAN DAN STRATEGI
Pasal 6
(1) Kebijakan penyuluhan ditetapkan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dengan
memperhatikan asas dan tujuan sistem penyuluhan.
(2) Dalam menetapkan kebijakan penyuluhan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan pemerintah
daerah memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
a. penyuluhan dilaksanakan secara terintegrasi dengan
subsistem pembangunan pertanian, perikanan, dan
kehutanan; dan
b. penyelenggaraan penyuluhan dapat dilaksanakan oleh
pelaku utama dan/atau warga masyarakat lainnya
sebagai mitra Pemerintah dan pemerintah daerah, baik
secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama, yang
dilaksanakan secara terintegrasi dengan programa pada
tiap-tiap tingkat administrasi pemerintahan.
(3) Ketentuan . . .
- 9 -
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan penyuluhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan peraturan menteri, gubernur, atau
bupati/walikota.
Pasal 7
(1) Strategi penyuluhan disusun dan ditetapkan oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya yang meliputi metode pendidikan orang
dewasa; penyuluhan sebagai gerakan masyarakat;
penumbuhkembangan dinamika organisasi dan
kepemimpinan; keadilan dan kesetaraan gender; dan
peningkatan kapasitas pelaku utama yang profesional.
(2) Dalam menyusun strategi penyuluhan, Pemerintah dan
pemerintah daerah memperhatikan kebijakan penyuluhan
yang ditetapkan berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, dengan melibatkan pemangku
kepentingan di bidang pertanian, perikanan, dan
kehutanan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai strategi penyuluhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan peraturan menteri, gubernur, atau
bupati/walikota.
BAB V
KELEMBAGAAN
Bagian Kesatu
Kelembagaan Penyuluhan
Pasal 8
(1) Kelembagaan penyuluhan terdiri atas:
a. kelembagaan penyuluhan pemerintah;
b. kelembagaan penyuluhan swasta; dan
c. kelembagaan penyuluhan swadaya.
(2) Kelembagaan . . .
- 10 -
(2) Kelembagaan penyuluhan pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a:
a. pada tingkat pusat berbentuk badan yang menangani
penyuluhan;
b. pada tingkat provinsi berbentuk Badan Koordinasi
Penyuluhan;
c. pada tingkat kabupaten/kota berbentuk badan
pelaksana penyuluhan; dan
d. pada tingkat kecamatan berbentuk Balai Penyuluhan.
(3) Kelembagaan penyuluhan swasta sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dapat dibentuk oleh pelaku usaha
dengan memperhatikan kepentingan pelaku utama serta
pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan
setempat.
(4) Kelembagaan penyuluhan swadaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c dapat dibentuk atas dasar
kesepakatan antara pelaku utama dan pelaku usaha.
(5) Kelembagaan penyuluhan pada tingkat desa/kelurahan
berbentuk pos penyuluhan desa/kelurahan yang bersifat
nonstruktural.
Pasal 9
(1) Badan penyuluhan pada tingkat pusat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a mempunyai
tugas:
a. menyusun kebijakan nasional, programa penyuluhan
nasional, standardisasi dan akreditasi tenaga penyuluh,
sarana dan prasarana, serta pembiayaan penyuluhan;
b. menyelenggarakan pengembangan penyuluhan,
pangkalan data, pelayanan, dan jaringan informasi
penyuluhan;
c. melaksanakan . . .
- 11 -
c. melaksanakan penyuluhan, koordinasi, penyeliaan,
pemantauan dan evaluasi, serta alokasi dan distribusi
sumber daya penyuluhan;
d. melaksanakan kerja sama penyuluhan nasional,
regional, dan internasional; dan
e. melaksanakan peningkatan kapasitas penyuluh PNS,
swadaya, dan swasta.
(2) Badan penyuluhan pada tingkat pusat bertanggung jawab
kepada menteri.
(3) Untuk melaksanakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi,
dan optimalisasi kinerja penyuluhan pada tingkat pusat,
diperlukan wadah koordinasi penyuluhan nasional
nonstruktural yang pembentukannya diatur lebih lanjut
dengan peraturan presiden.
Pasal 10
(1) Untuk menetapkan kebijakan dan strategi penyuluhan,
menteri dibantu oleh Komisi Penyuluhan Nasional.
(2) Komisi Penyuluhan Nasional mempunyai tugas
memberikan masukan kepada menteri sebagai bahan
penyusunan kebijakan dan strategi penyuluhan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Komisi Penyuluhan
Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan peraturan menteri.
Pasal 11
(1) Badan Koordinasi Penyuluhan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b mempunyai tugas;
a. melakukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi lintas
sektor, optimalisasi partisipasi, advokasi masyarakat
dengan melibatkan unsur pakar, dunia usaha, institusi
terkait, perguruan tinggi, dan sasaran penyuluhan;
b. menyusun . . .
- 12 -
b. menyusun kebijakan dan programa penyuluhan
provinsi yang sejalan dengan kebijakan dan programa
penyuluhan nasional;
c. memfasilitasi pengembangan kelembagaan dan forum
masyarakat bagi pelaku utama dan pelaku usaha untuk
mengembangkan usahanya dan memberikan umpan
balik kepada pemerintah daerah; dan
d. melaksanakan peningkatan kapasitas penyuluh PNS,
swadaya, dan swasta.
(2) Badan Koordinasi Penyuluhan pada tingkat provinsi
diketuai oleh gubernur.
(3) Untuk menunjang kegiatan Badan Koordinasi Penyuluhan
pada tingkat provinsi dibentuk sekretariat, yang dipimpin
oleh seorang pejabat setingkat eselon IIa, yang
pembentukannya diatur lebih lanjut dengan peraturan
gubernur.
Pasal 12
(1) Untuk menetapkan kebijakan dan strategi penyuluhan
provinsi, gubernur dibantu oleh Komisi Penyuluhan
Provinsi.
(2) Komisi Penyuluhan Provinsi bertugas memberikan
masukan kepada gubernur sebagai bahan penyusunan
kebijakan dan strategi penyuluhan provinsi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Komisi Penyuluhan
Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan peraturan gubernur.
Pasal 13
(1) Badan pelaksana penyuluhan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c bertugas:
a. menyusun kebijakan dan programa penyuluhan
kabupaten/kota yang sejalan dengan kebijakan dan
programa penyuluhan provinsi dan nasional;
b. melaksanakan . . .
- 13 -
b. melaksanakan penyuluhan dan mengembangkan
mekanisme, tata kerja, dan metode penyuluhan;
c. melaksanakan pengumpulan, pengolahan, pengemasan,
dan penyebaran materi penyuluhan bagi pelaku utama
dan pelaku usaha;
d. melaksanakan pembinaan pengembangan kerja sama,
kemitraan, pengelolaan kelembagaan, ketenagaan,
sarana dan prasarana, serta pembiayaan penyuluhan;
e. menumbuhkembangkan dan memfasilitasi kelembagaan
dan forum kegiatan bagi pelaku utama dan pelaku
usaha; dan
f. melaksanakan peningkatan kapasitas penyuluh PNS,
swadaya, dan swasta melalui proses pembelajaran
secara berkelanjutan.
(2) Badan pelaksana penyuluhan pada tingkat
kabupaten/kota dipimpin oleh pejabat setingkat eselon II
dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota, yang
pembentukannya diatur lebih lanjut dengan peraturan
bupati/walikota.
Pasal 14
(1) Untuk menetapkan kebijakan dan strategi penyuluhan
kabupaten/kota, bupati/walikota dibantu oleh Komisi
Penyuluhan Kabupaten/Kota.
(2) Komisi Penyuluhan Kabupaten/Kota mempunyai tugas
memberikan masukan kepada bupati/walikota sebagai
bahan penyusunan kebijakan dan strategi penyuluhan
kabupaten/kota.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Komisi Penyuluhan
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
(2) diatur dengan peraturan bupati/walikota.
Pasal 15 . . .
- 14 -
Pasal 15
(1) Balai Penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (2) huruf d mempunyai tugas:
a. menyusun programa penyuluhan pada tingkat
kecamatan sejalan dengan programa penyuluhan
kabupaten/kota;
b. melaksanakan penyuluhan berdasarkan programa
penyuluhan;
c. menyediakan dan menyebarkan informasi teknologi,
sarana produksi, pembiayaan, dan pasar;
d. memfasilitasi pengembangan kelembagaan dan
kemitraan pelaku utama dan pelaku usaha;
e. memfasilitasi peningkatan kapasitas penyuluh PNS,
penyuluh swadaya, dan penyuluh swasta melalui proses
pembelajaran secara berkelanjutan; dan
f. melaksanakan proses pembelajaran melalui
percontohan dan pengembangan model usaha tani bagi
pelaku utama dan pelaku usaha.
(2) Balai Penyuluhan berfungsi sebagai tempat pertemuan
para penyuluh, pelaku utama, dan pelaku usaha.
(3) Balai Penyuluhan bertanggung jawab kepada badan
pelaksana penyuluhan kabupaten/kota yang
pembentukannya diatur lebih lanjut dengan peraturan
bupati/walikota.
Pasal 16
(1) Pos penyuluhan desa/kelurahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (5) merupakan unit kerja nonstruktural
yang dibentuk dan dikelola secara partisipatif oleh pelaku
utama.
(2) Pos penyuluhan berfungsi sebagai tempat pertemuan para
penyuluh, pelaku utama, dan pelaku usaha untuk:
a. menyusun . . .
- 15 -
a. menyusun programa penyuluhan;
b. melaksanakan penyuluhan di desa/kelurahan;
c. menginventarisasi permasalahan dan upaya
pemecahannya;
d. melaksanakan proses pembelajaran melalui
percontohan dan pengembangan model usaha tani bagi
pelaku utama dan pelaku usaha;
e. menumbuhkembangkan kepemimpinan,
kewirausahaan, serta kelembagaan pelaku utama dan
pelaku usaha;
f. melaksanakan kegiatan rembug, pertemuan teknis,
temu lapang, dan metode penyuluhan lain bagi pelaku
utama dan pelaku usaha;
g. memfasilitasi layanan informasi, konsultasi, pendidikan,
serta pelatihan bagi pelaku utama dan pelaku usaha;
dan
h. memfasilitasi forum penyuluhan perdesaan.
Pasal 17
Kelembagaan penyuluhan swasta dan/atau swadaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dan
huruf c mempunyai tugas:
a. menyusun perencanaan penyuluhan yang terintegrasi
dengan programa penyuluhan;
b. melaksanakan pertemuan dengan penyuluh dan pelaku
utama sesuai dengan kebutuhan;
c. membentuk forum, jaringan, dan kelembagaan pelaku
utama dan pelaku usaha;
d. melaksanakan kegiatan rembug, pertemuan teknis,
lokakarya lapangan, serta temu lapang pelaku utama dan
pelaku usaha;
e. menjalin kemitraan usaha dengan berbagai pihak dengan
dasar saling menguntungkan;
f. menumbuhkembangkan . . .
- 16 -
f. menumbuhkembangkan kepemimpinan, kewirausahaan,
serta kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha;
g. menyampaikan informasi dan teknologi usaha kepada
sesama pelaku utama dan pelaku usaha;
h. mengelola lembaga pendidikan dan pelatihan pertanian,
perikanan, dan kehutanan serta perdesaan swadaya bagi
pelaku utama dan pelaku usaha;
i. melaksanakan proses pembelajaran melalui percontohan
dan pengembangan model usaha tani bagi pelaku utama
dan pelaku usaha;
j. melaksanakan kajian mandiri untuk pemecahan masalah
dan pengembangan model usaha, pemberian umpan balik,
dan kajian teknologi; dan
k. melakukan pemantauan pelaksanaan penyuluhan yang
difasilitasi oleh pelaku utama dan pelaku usaha.
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai kelembagaan penyuluhan
pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
diatur dengan peraturan presiden.
Bagian Kedua
Kelembagaan Pelaku Utama
Pasal 19
(1) Kelembagaan pelaku utama beranggotakan petani,
pekebun, peternak, nelayan, pembudi daya ikan, pengolah
ikan, serta masyarakat di dalam dan di sekitar hutan yang
dibentuk oleh pelaku utama, baik formal maupun
nonformal.
(2) Kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai fungsi sebagai wadah proses pembelajaran,
wahana kerja sama, unit penyedia sarana dan prasarana
produksi, unit produksi, unit pengolahan dan pemasaran,
serta unit jasa penunjang.
(3) Kelembagaan . . .
- 17 -
(3) Kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berbentuk kelompok, gabungan kelompok, asosiasi, atau
korporasi.
(4) Kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
difasilitasi dan diberdayakan oleh Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah agar tumbuh dan berkembang menjadi
organisasi yang kuat dan mandiri sehingga mampu
mencapai tujuan yang diharapkan para anggotanya.
BAB VI
TENAGA PENYULUH
Pasal 20
(1) Penyuluhan dilakukan oleh penyuluh PNS, penyuluh
swasta, dan/atau penyuluh swadaya.
(2) Pengangkatan dan penempatan penyuluh PNS disesuaikan
dengan kebutuhan dan formasi yang tersedia berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
(3) Keberadaan penyuluh swasta dan penyuluh swadaya
bersifat mandiri untuk memenuhi kebutuhan pelaku
utama dan pelaku usaha.
Pasal 21
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah meningkatkan
kompetensi penyuluh PNS melalui pendidikan dan
pelatihan.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi
pelaksanaan pendidikan dan pelatihan bagi penyuluh
swasta dan penyuluh swadaya.
(3) Peningkatan kompetensi penyuluh sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) berpedoman pada standar,
akreditasi, serta pola pendidikan dan pelatihan penyuluh
yang diatur dengan peraturan menteri.
Pasal 22 . . .
- 18 -
Pasal 22
(1) Penyuluh PNS merupakan pejabat fungsional yang diatur
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(2) Alih tugas penyuluh PNS hanya dapat dilakukan apabila
diganti dengan penyuluh PNS yang baru sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
BAB VII
PENYELENGGARAAN
Bagian Kesatu
Programa Penyuluhan
Pasal 23
(1) Programa penyuluhan dimaksudkan untuk memberikan
arah, pedoman, dan alat pengendali pencapaian tujuan
penyelenggaraan penyuluhan.
(2) Programa penyuluhan terdiri atas programa penyuluhan
desa/kelurahan atau unit kerja lapangan, programa
penyuluhan kecamatan, programa penyuluhan
kabupaten/kota, programa penyuluhan provinsi, dan
programa penyuluhan nasional.
(3) Programa penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) disusun dengan memperhatikan keterpaduan dan
kesinergian programa penyuluhan pada setiap tingkatan.
(4) Programa penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) disahkan oleh Kepala Balai Penyuluhan, Kepala Badan
Pelaksana Penyuluhan Kabupaten/Kota, Ketua Badan
Koordinasi Penyuluhan Provinsi, atau Kepala Badan
Penyuluhan sesuai dengan tingkat administrasi
pemerintahan.
(5) Programa penyuluhan desa/kelurahan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diketahui oleh kepala
desa/kelurahan.
Pasal 24 . . .
- 19 -
Pasal 24
(1) Programa penyuluhan disusun setiap tahun yang memuat
rencana penyuluhan tahun berikutnya dengan
memperhatikan siklus anggaran masing-masing tingkatan
mencakup pengorganisasian dan pengelolaan sumber daya
sebagai dasar pelaksanaan penyuluhan.
(2) Programa penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus terukur, realistis, bermanfaat, dan dapat
dilaksanakan serta dilakukan secara partisipatif, terpadu,
transparan, demokratis, dan bertanggung gugat.
Pasal 25
Ketentuan mengenai pedoman penyusunan programa
penyuluhan diatur dengan peraturan menteri.
Bagian Kedua
Mekanisme Kerja dan Metode
Pasal 26
(1) Penyuluh menyusun dan melaksanakan rencana kerja
tahunan berdasarkan programa penyuluhan.
(2) Penyuluhan dilaksanakan dengan berpedoman pada
programa penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23, Pasal 24, dan Pasal 25.
(3) Penyuluhan dilakukan dengan menggunakan pendekatan
partisipatif melalui mekanisme kerja dan metode yang
disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi pelaku utama
dan pelaku usaha.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme kerja dan
metode penyuluhan ditetapkan dengan peraturan menteri,
gubernur, atau bupati/walikota.
Bagian Ketiga . . .
- 20 -
Bagian Ketiga
Materi Penyuluhan
Pasal 27
(1) Materi penyuluhan dibuat berdasarkan kebutuhan dan
kepentingan pelaku utama dan pelaku usaha dengan
memperhatikan kemanfaatan dan kelestarian sumber daya
pertanian, perikanan, dan kehutanan.
(2) Materi penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berisi unsur pengembangan sumber daya manusia dan
peningkatan modal sosial serta unsur ilmu pengetahuan,
teknologi, informasi, ekonomi, manajemen, hukum, dan
pelestarian lingkungan.
Pasal 28
(1) Materi penyuluhan dalam bentuk teknologi tertentu yang
akan disampaikan kepada pelaku utama dan pelaku usaha
harus mendapat rekomendasi dari lembaga pemerintah,
kecuali teknologi yang bersumber dari pengetahuan
tradisional.
(2) Lembaga pemerintah pemberi rekomendasi wajib
mengeluarkan rekomendasi segera setelah proses
pengujian dan administrasi selesai.
(3) Teknologi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri.
(4) Ketentuan mengenai pemberian rekomendasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Peran Serta dan Kerja Sama
Pasal 29
Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi dan
mendorong peran serta pelaku utama dan pelaku usaha dalam
pelaksanaan penyuluhan.
Pasal 30 . . .
- 21 -
Pasal 30
(1) Kerja sama penyuluhan dapat dilakukan
antarkelembagaan penyuluhan, baik secara vertikal,
horisontal, maupun lintas sektoral.
(2) Kerja sama penyuluhan antara kelembagaan penyuluhan
nasional, regional, dan/atau internasional dapat dilakukan
setelah mendapat persetujuan dari menteri.
(3) Penyuluh swasta dan penyuluh swadaya dalam
melaksanakan penyuluhan kepada pelaku utama dan
pelaku usaha dapat berkoordinasi dengan penyuluh PNS.
BAB VIII
SARANA DAN PRASARANA
Pasal 31
(1) Untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan penyuluhan
dan kinerja penyuluh, diperlukan sarana dan prasarana
yang memadai agar penyuluhan dapat diselenggarakan
dengan efektif dan efisien.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, kelembagaan penyuluhan
swasta, dan kelembagaan penyuluhan swadaya
menyediakan sarana dan prasarana penyuluhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Penyuluh PNS, penyuluh swasta, dan penyuluh swadaya
dapat memanfaatkan sarana dan prasarana sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan sarana dan
prasarana diatur dengan peraturan menteri, gubernur,
atau bupati/walikota.
BAB IX . . .
- 22 -
BAB IX
PEMBIAYAAN
Pasal 32
(1) Untuk menyelenggarakan penyuluhan yang efektif dan
efisien diperlukan tersedianya pembiayaan yang memadai
untuk memenuhi biaya penyuluhan.
(2) Sumber pembiayaan untuk penyuluhan disediakan melalui
APBN, APBD baik provinsi maupun kabupaten/kota, baik
secara sektoral maupun lintas sektoral, maupun sumbersumber
lain yang sah dan tidak mengikat.
(3) Pembiayaan penyuluhan yang berkaitan dengan tunjangan
jabatan fungsional dan profesi, biaya operasional penyuluh
PNS, serta sarana dan prasarana bersumber dari APBN,
sedangkan pembiayaan penyelenggaraan penyuluhan di
provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa bersumber
dari APBD yang jumlah dan alokasinya disesuaikan dengan
programa penyuluhan.
(4) Jumlah tunjangan jabatan fungsional dan profesi penyuluh
PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan pada
jenjang jabatan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(5) Dalam hal penyuluhan yang diselenggarakan oleh
penyuluh swasta dan penyuluh swadaya, pembiayaannya
dapat dibantu oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembiayaan penyuluhan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB X . . .
- 23 -
BAB X
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 34
(1) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap penyuluhan yang diselenggarakan, baik oleh
pemerintah daerah maupun swasta atau swadaya.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan terhadap kelembagaan, ketenagaan,
penyelenggaraan, sarana dan prasarana, serta pembiayaan
penyuluhan.
(3) Untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan
terhadap kinerja penyuluh, pemerintah memfasilitasi
terbentuknya organisasi profesi dan kode etik penyuluh.
(4) Setiap penyuluh yang menjadi anggota organisasi profesi
tunduk terhadap kode etik penyuluh.
(5) Organisasi profesi penyuluh berkewajiban melakukan
pembinaan dan pengawasan, termasuk memberikan
pertimbangan terhadap anggotanya yang melakukan
pelanggaran kode etik.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan peraturan pemerintah.
BAB XI
KETENTUAN SANKSI
Pasal 35
(1) Setiap penyuluh PNS yang melakukan penyuluhan dengan
materi teknologi tertentu yang belum mendapat
rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(1) dikenakan sanksi administratif berdasarkan peraturan
perundang-undangan bidang kepegawaian dengan
memperhatikan pertimbangan dari organisasi profesi dan
kode etik penyuluh.
(2) Setiap . . .
- 24 -
(2) Setiap pejabat pemberi rekomendasi yang tidak mematuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (2)
dan ayat (3) dikenakan sanksi administratif berdasarkan
peraturan perundang-undangan bidang kepegawaian.
(3) Setiap penyuluh swasta yang melakukan penyuluhan
dengan materi teknologi tertentu yang belum mendapat
rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(1) dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan
sertifikat sebagai penyuluh dengan memperhatikan
pertimbangan dari organisasi profesi dan kode etik
penyuluh.
(4) Setiap penyuluh swadaya yang melakukan penyuluhan
dengan materi teknologi tertentu yang belum mendapat
rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(1) dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan
sertifikat sebagai penyuluh swadaya, kecuali materi
teknologi yang bersumber dari pengetahuan tradisional.
Pasal 36
Setiap orang dan/atau kelembagaan penyuluhan yang
melakukan penyuluhan dengan sengaja atau karena
kelalaiannya menimbulkan kerugian sosial ekonomi,
lingkungan hidup, dan/atau kesehatan masyarakat dipidana
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 37
(1) Penyelenggaraan penyuluhan yang telah dilaksanakan
sebelum Undang-Undang ini dan tidak bertentangan
dengan Undang-Undang ini tetap dapat dilaksanakan.
(2) Pelaksanaan . . .
- 25 -
(2) Pelaksanaan penyuluhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberi waktu penyesuaian paling lama 1 (satu)
tahun sejak tanggal pengundangan Undang-Undang ini.
Pasal 38
Kelembagaan penyelenggara penyuluhan pada tingkat pusat,
yang telah ada saat Undang-Undang ini diundangkan harus
sudah disesuaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua)
tahun.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 39
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan
perundang-undangan di bidang penyuluhan dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti
dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 40
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah
ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Pasal 41
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
- 26 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta,
pada tanggal 15 Nopember 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Nopember 2006
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 92
Salinan sesuai dengan aslinya,
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Perekonomian dan Industri,
M. SAPTA MURTI, SH., MA, MKn
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2006
TENTANG
SISTEM PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN
I. UMUM
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bertujuan
antara lain mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Indonesia sebagai negara agraris dan bahari memiliki hutan tropis
terbesar ketiga di dunia dengan keragaman hayati yang sangat tinggi. Hal
itu merupakan modal dasar yang sangat penting dalam meningkatkan
perekonomian nasional karena telah terbukti dan teruji bahwa pada saat
krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998, bidang pertanian,
perikanan, dan kehutanan mampu memberikan kontribusi yang signifikan
pada produk domestik bruto nasional. Oleh karena itu, bangsa Indonesia
wajib bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia sumber daya
alam hayati, tanah yang subur, iklim yang sesuai sehingga bidang
pertanian, perikanan, dan kehutanan dapat menjadi tulang punggung
perekonomian nasional.
Petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan,
dan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan merupakan bagian
dari masyarakat Indonesia sehingga perlu ditingkatkan kesejahteraan dan
kecerdasannya. Salah satu upaya peningkatan tersebut dilaksanakan
melalui kegiatan penyuluhan.
Penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan merupakan proses
pembelajaran bagi pelaku utama agar mereka mau dan mampu menolong
dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar,
teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya, sebagai upaya untuk
meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan
kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi
lingkungan hidup.
Untuk . . .
- 2 -
Untuk mengantisipasi perubahan lingkungan strategis yang berkembang
pada abad 21 dengan isu globalisasi, desentralisasi, demokratisasi, dan
pembangunan berkelanjutan, diperlukan sumber daya manusia yang andal
untuk mewujudkan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang tangguh,
produktif, efisien, dan berdaya saing sehingga dapat menyejahterakan
seluruh rakyat Indonesia.
Untuk menjawab perubahan lingkungan strategis diperlukan upaya
revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan. Revitalisasi tersebut akan
berhasil jika didukung antara lain oleh adanya sistem penyuluhan
pertanian, perikanan, dan kehutanan.
Sistem penyuluhan selama ini belum didukung oleh peraturan
perundang-undangan yang kuat dan lengkap sehingga kurang memberikan
jaminan kepastian hukum serta keadilan bagi pelaku utama, pelaku usaha,
dan penyuluh. Kondisi tersebut menimbulkan perbedaan pemahaman dan
pelaksanaan di kalangan masyarakat. Di samping itu, adanya perubahan
peraturan perundang-undangan dan kebijakan penyuluhan yang demikian
cepat telah melemahkan semangat dan kinerja para penyuluh sehingga
dapat menggoyahkan ketahanan pangan dan menghambat pengembangan
perekonomian nasional.
Undang-undang yang ada selama ini masih bersifat parsial dan belum
mengatur sistem penyuluhan secara jelas, tegas, dan lengkap. Hal tersebut
dapat dilihat dalam undang-undang sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya;
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman;
4. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan
dan Tumbuhan;
5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup;
7. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
8. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas
Tanaman;
9. Undang-Undang . . .
- 3 -
9. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional
Penelitian dan Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi;
10. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;
11. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan;
12. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Atas dasar pertimbangan tersebut, Undang-Undang ini mengatur sistem
penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan secara holistik dan
komprehensif dalam suatu pengaturan yang terpadu, serasi antara
penyuluhan yang diselenggarakan oleh kelembagaan penyuluhan
pemerintah, kelembagaan penyuluhan swasta, dan kelembagaan
penyuluhan swadaya kepada pelaku utama dan pelaku usaha.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Yang dimaksud dengan ‘‘penyuluhan berasaskan demokrasi” yaitu
penyuluhan yang diselenggarakan dengan saling menghormati pendapat
antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan pelaku utama serta pelaku
usaha lainnya.
Yang dimaksud dengan “penyuluhan berasaskan manfaat” yaitu
penyuluhan yang harus memberikan nilai manfaat bagi peningkatan
pengetahuan, keterampilan dan perubahan perilaku untuk
meningkatkan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan pelaku
utama dan pelaku usaha.
Yang dimaksud dengan “penyuluhan berasaskan kesetaraan” yaitu
hubungan antara penyuluh, pelaku utama dan pelaku usaha yang harus
merupakan mitra sejajar.
Yang dimaksud dengan “penyuluhan berasaskan keterpaduan” yaitu
penyelenggaraan penyuluhan yang dilaksanakan secara terpadu antar
kepentingan pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.
Yang dimaksud dengan “penyuluhan berasaskan keseimbangan” yaitu
setiap penyelenggaraan penyuluhan harus memperhatikan
keseimbangan antara kebijakan, inovasi teknologi dengan kearifan
masyarakat setempat, pengarusutamaan gender, keseimbangan
pemanfaatan sumber daya dan kelestarian lingkungan, dan
keseimbangan antar kawasan yang maju dengan kawasan yang relatif
masih tertinggal.
Yang . . .
- 4 -
Yang dimaksud dengan “penyuluhan berasaskan keterbukaan” yaitu
penyelenggaraan penyuluhan dilakukan secara terbuka antara penyuluh
dan pelaku utama serta pelaku usaha.
Yang dimaksud dengan “penyuluhan berasaskan kerjasama” yaitu
penyelenggaraan penyuluhan harus diselenggarakan secara sinergis
dalam kegiatan pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan
serta sektor lain yang merupakan tujuan bersama antara pemerintah
dan masyarakat.
Yang dimaksud dengan “penyuluhan berasaskan partisipatif” yaitu
penyelenggaraan penyuluhan yang melibatkan secara aktif pelaku utama
dan pelaku usaha dan penyuluh sejak perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, dan evaluasi.
Yang dimaksud dengan “penyuluhan berasaskan kemitraan” yaitu
penyelenggaraan penyuluhan yang dilaksanakan berdasarkan prinsip
saling menghargai, saling menguntungkan, saling memperkuat, dan
saling membutuhkan antara pelaku utama dan pelaku usaha yang
difasilitasi oleh penyuluh.
Yang dimaksud dengan “penyuluhan berasaskan keberlanjutan” yaitu
penyelenggaraan penyuluhan dengan upaya secara terus menerus dan
berkesinambungan agar pengetahuan, keterampilan, serta perilaku
pelaku utama dan pelaku usaha semakin baik dan sesuai dengan
perkembangan sehingga dapat terwujud kemandirian.
Yang dimaksud dengan “penyuluhan berasaskan berkeadilan” yaitu
penyelenggaraan penyuluhan yang memosisikan pelaku utama dan
pelaku usaha berhak mendapatkan pelayanan secara proporsional
sesuai dengan kemampuan, kondisi, serta kebutuhan pelaku utama
dan pelaku usaha.
Yang dimaksud dengan “penyuluhan berasaskan pemerataan” yaitu
penyelenggaraan penyuluhan harus dapat dilaksanakan secara merata
bagi seluruh wilayah Republik Indonesia dan segenap lapisan pelaku
utama dan pelaku usaha.
Yang dimaksud dengan “penyuluhan berasaskan bertanggung gugat”
yaitu bahwa evaluasi kinerja penyuluhan dikerjakan dengan
membandingkan pelaksanaan yang telah dilakukan dengan perencanaan
yang telah dibuat dengan sederhana, terukur, dapat dicapai, rasional,
dan kegiatannya dapat dijadualkan.
Pasal 3 . . .
- 5 -
Pasal 3
Yang dimaksud dengan “pengembangan sumber daya manusia” antara
lain peningkatan semangat, wawasan, kecerdasan, keterampilan, serta
ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membentuk kepribadian yang
mandiri.
Yang dimaksud dengan “peningkatan modal sosial” antara lain
pembentukan kelompok, gabungan kelompok/asosiasi, manajemen,
kepemimpinan, akses modal, dan akses informasi.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “terdesentralisasi” yaitu bahwa
penyelenggaraan penyuluhan merupakan urusan rumah tangga desa
atau unit kerja lapangan, kabupaten/kota, dan provinsi.
Yang dimaksud dengan “partisipatif” yaitu bahwa penyelenggaraan
penyuluhan melibatkan pelaku utama mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, sampai dengan evaluasi.
Yang dimaksud dengan “keterbukaan” yaitu bahwa penyelenggaraan
penyuluhan dilakukan dengan prinsip transparansi sehingga dapat
diketahui oleh semua unsur yang terlibat.
Yang dimaksud dengan “keswadayaan” yaitu bahwa penyelenggaraan
penyuluhan dilakukan dengan mengutamakan kemampuan pelaku
penyuluhan sendiri.
Yang dimaksud dengan “kemitrasejajaran” yaitu bahwa
penyelenggaraan penyuluhan dilakukan berdasarkan atas kesetaraan
kedudukan antara penyuluh, pelaku utama, dan pelaku usaha.
Yang dimaksud dengan “bertanggung gugat” yaitu bahwa evaluasi
kinerja penyuluhan dikerjakan dengan membandingkan pelaksanaan
yang telah dilakukan dengan perencanaan yang telah dibuat dengan
sederhana, terukur, dapat dicapai, rasional, dan kegiatannya dapat
dijadwalkan.
Huruf d . . .
- 6 -
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sasaran utama penyuluhan pertanian meliputi petani, pekebun,
peternak, baik individu maupun kelompok, dan pelaku usaha lainnya.
Sasaran utama penyuluhan perikanan meliputi nelayan, pembudi daya
ikan, pengolah ikan, baik individu maupun kelompok yang melakukan
kegiatan perikanan.
Sasaran utama penyuluhan kehutanan meliputi masyarakat di dalam
dan di sekitar kawasan hutan, kelompok, atau individu masyarakat
pengelola komoditas yang dihasilkan dari kawasan hutan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “generasi muda dan tokoh masyarakat”, yaitu
generasi muda dan tokoh masyarakat dengan memperhatikan keadilan
dan kesetaraan gender.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
- 7 -
Ayat (2)
Kelembagaan penyuluhan pada tingkat pusat adalah badan yang
menangani penyuluhan pada setiap Departemen/Kementrian yang
bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan dan kehutanan.
Pada tingkat provinsi berbentuk Badan Koordinasi Penyuluhan yang
bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.
Pada tingkat kabupaten/kota berbentuk badan pelaksana penyuluhan
yang bertanggung jawab kepada bupati/walikota.
Pada tingkat kecamatan berbentuk Balai Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan yang bertanggung jawab kepada badan
pelaksana penyuluhan Kabupaten/Kota.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pos penyuluhan di perdesaan merupakan wadah penyuluh pegawai
negeri sipil, penyuluh swasta dan swadaya serta pelaku utama dan
pelaku usaha di perdesaan sebagai tempat berdiskusi, merencanakan,
melaksanakan, dan memantau kegiatan penyuluhan.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Komisi Penyuluhan Nasional” yaitu
kelembagaan independen sebagai mitra kerja menteri dalam memberikan
rekomendasi yang berkaitan dengan penyuluhan. Keanggotaan Komisi
Penyuluhan Nasional terdiri atas para pakar dan/atau praktisi yang
mempunyai keahlian dan kepedulian dalam bidang penyuluhan atau
pembangunan perdesaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) . . .
- 8 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Pada tingkat provinsi dibentuk Badan Koordinasi Penyuluhan karena
sebagian besar kegiatan penyuluhan berada di kabupaten/kota,
sedangkan di provinsi badan itu lebih banyak bersifat koordinatif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Komisi Penyuluhan Provinsi merupakan kelembagaan independen yang
dibentuk oleh gubernur yang terdiri atas para pakar dan atau praktisi yang
mempunyai keahlian dan kepedulian di bidang penyuluhan atau
pembangunan perdesaan.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Komisi Penyuluhan Kabupaten/Kota merupakan kelembagaan independen
yang dibentuk oleh bupati/walikota yang terdiri atas para pakar dan/atau
praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian di bidang penyuluhan
atau pembangunan perdesaan.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18 . . .
- 9 -
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Kelembagaan pelaku utama dibentuk secara partisipatif sesuai dengan
kesepakatan di antara petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudi
daya ikan, pengolah ikan, serta masyarakat di dalam dan di sekitar
hutan.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan pengangkatan penyuluh pegawai negeri sipil harus mendapat
prioritas oleh Pemerintah dan pemerintah daerah untuk mencukupi
kebutuhan tenaga penyuluh pegawai negeri sipil.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “bersifat mandiri” yaitu tenaga penyuluh bekerja
atas kehendak diri sendiri atau atas biaya lembaga/pelaku usaha.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Penyuluh pegawai negeri sipil memperoleh kesetaraan persyaratan,
jenjang jabatan, tunjangan jabatan fungsional, tunjangan profesi, dan
usia pensiun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
- 10 -
Ayat (2)
Programa penyuluhan desa atau unit kerja lapangan disusun oleh
pelaku utama dan pelaku usaha yang difasilitasi oleh penyuluh.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “keterpaduan” yaitu bahwa programa
penyuluhan disusun dengan memperhatikan programa penyuluhan
tingkat kecamatan, tingkat kabupaten, tingkat provinsi, dan tingkat
nasional, dengan berdasarkan kebutuhan pelaku utama dan pelaku
usaha.
Yang dimaksud dengan “kesinergian” yaitu bahwa hubungan antara
programa penyuluhan pada tiap tingkatan mempunyai hubungan yang
bersifat saling mendukung.
Ketentuan ayat ini dimaksudkan agar semua programa selaras dan tidak
bertentangan antara programa dalam berbagai tingkatan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) . . .
- 11 -
Ayat (4)
Yang dimaksud “metode penyuluhan” antara lain seminar, workshop,
lokakarya, magang, studi banding, temu lapang, temu teknologi,
sarasehan.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “teknologi” dapat berupa produk atau proses.
Yang dimaksud dengan “produk” antara lain bibit, benih, alat dan mesin,
bahan, pestisida, dan obat hewan/ikan. Yang dimaksud dengan “proses”
yaitu paket teknologi, misalnya pengelolaan tanaman terpadu (PTT).
Yang dimaksud dengan “teknologi tertentu” yaitu teknologi yang
diperkirakan dapat merusak lingkungan hidup, mengganggu kesehatan
dan ketentraman batin masyarakat, dan menimbulkan kerugian ekonomi
bagi pelaku utama, pelaku usaha, dan masyarakat. Misalnya: teknologi
rekayasa genetik, teknologi perbenihan dan teknologi pengendalian hama
penyakit.
Yang dimaksud dengan “teknologi yang bersumber dari pengetahuan
tradisional” yaitu produk atau proses yang ditemukan oleh masyarakat
dan/atau telah dimanfaatkan secara meluas sesuai dengan adat
kebiasaan secara turun-temurun.
Ayat (2)
Yang dimaksud “lembaga pemerintah pemberi rekomendasi” adalah
menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30 . . .
- 12 -
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “bekerja sama” yaitu kerja sama yang dimulai
dari penyusunan Frencana, pelaksanaan sampai dengan pemantauan
penyelenggaraan penyuluhan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan ayat ini dimaksudkan agar para penyuluh baik penyuluh
pegawai negeri sipil, penyuluh swasta, dan penyuluh swadaya dapat
saling memanfaatkan sarana dan prasarana yang dimiliki.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Pengaturan mengenai pembiayaan penyuluhan antara lain standar minimal
biaya operasional, sumber pembiayaan, serta alokasi dan distribusi biaya.
Standar minimal biaya operasional meliputi:
a. perjalanan tetap;
b. biaya perlengkapan (jas hujan, sepatu lapangan, dan pakaian kerja, soil
test kit);
c. biaya percontohan dan demonstrasiplot (demplot);
d. biaya penyusunan materi penyuluhan;
e. biaya penyusunan rencana kerja.
Pasal 34 . . .
- 13 -
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4660

Kamis, 01 April 2010